Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Banjir Jakarta 2013 adalah bencana
banjir yang melanda
Jakarta dan sekitarnya pada pertengahan
Januari 2013 yang menyebabkan Jakarta dinyatakan dalam keadaan darurat. Banjir ini sebenarnya sudah dimulai sejak
Desember 2012, dan baru mencapai puncaknya pada Januari 2013.
Penyebab
Selain
curah hujan yang tinggi sejak Desember 2012, sistem
drainase yang buruk, dan jebolnya berbagai
tanggul di wilayah Jakarta, banjir ini juga disebabkan meningkatnya volume 13
sungai yang melintasi Jakarta. Tercatat Bogor
[1], Bekasi
[2], Depok
[3], dan Tangerang
[4] juga mengalami hal yang sama pada masa ini.
Curah hujan
Hingga pertengahan Januari 2013, Jakarta tercatat mencapai rekor curah hujan hingga 250-300mm, melebihi kondisi
Banjir Jakarta 2002 yang mencapai 200mm, namun masih di bawah kondisi
Banjir Jakarta 2007 yang mencapai 340mm.
[5][6]
Kepala BPPT, Tri Handoko Seto, menyatakan bahwa gelombang atmosfer,
angin muson, dan
osilasi diurnal
menyebabkan tingginya curah hujan ini. Massa udara dari laut China
selatan dan India bergerak ke selatan menuju pusat tekanan rendah di
Australia. Massa udara ini kemudian mengalami pembelokan di sekitar
Jakarta, akibat tekanan rendah di Samudera Indonesia, di sebelah barat
daya Jakarta.
[7]
Masalah drainase
Tingginya curah hujan di kawasan bisnis MH Thamrin membuat jalanan
tergenang pada tanggal 22 Desember, mulai dari Sarinah, Sabang hingga
Monumen Nasional.
[8] . Kepala Dinas PU DKI Jakarta,
Ery Basworo,
menyatakan tingginya curah hujan sebagai penyebab buruknya genangan dan
menyangkal adanya masalah drainase dan sampah. Buruknya genangan
disebabkan pompa yang telah disediakan tidak mampu mengimbangi tingginya
aliran air yang hendak dipindahkan ke Kanal Banjir Barat.
[9]
Namun pendapat ini dibantah oleh
Kementerian Pekerjaan Umum melalui Menteri
Djoko Kirmanto,
yang menegaskan masalah sampah yang menyumbat drainase dan menghalangi
aliran air menuju pompa yang telah terpasang. Kementerian Pekerjaan Umum
juga menjanjikan alokasi dana hingga 18 Triliun rupiah untuk mengatasi
masalah banjir di Jakarta.
[10]
Hal ini diperkuat lagi oleh fakta bahwa
gorong-gorong
di sekitar wilayah tersebut yang ternyata hanya berukuran 60
sentimeter, dan belum pernah dibangun lagi semenjak tahun 1970an.
Inisiatif Gubernur DKI Jakarta,
Joko Widodo
untuk memeriksa drainase di Jalan MH Thamrin, membuat hal tersebut
terungkap kepada publik dan akhirnya memunculkan ide untuk membangun
Smart Tunnel untuk membantu mempercepat mengalirnya air ke laut.
[11]
Kerusakan tanggul
Sejak akhir tahun, telah terjadi beberapa kerusakan tanggul, dimulai dari tanggul di
Kali Adem,
Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, pada tanggal 13 Desember 2012.
Kerusakan tanggul ini menyebabkan 500 rumah warga terendam air laut,
serta dua warga hanyut. Akhirnya ratusan gubuk liar dibongkar untuk
mempermudah masuknya alat berat guna memperbaiki tanggul. Lurah Pluit
menjelaskan hempasan air laut pasang yang menggerus tanggul yang
menyebabkan kerusakan ini.
[12]
Banjir di Jl. Rasuna Said, Setiabudi, Kuningan, Jakarta Selatan
Musibah kembali menyusul pada tanggal 20 Desember 2012, dengan
jebolnya tanggul di Kali Cipinang. Akibatnya 979 warga terpaksa
mengungsi ke GOR Makassar serta Jalan Pusdiklat Depnaker dan Jalan
Masjid Suprapto tergenang, menutupi akses warga Pinang Ranti menuju
Halim. Diketahui buruknya konstruksi tanggul yang tidak menggunakan
rangka menyebabkan rusaknya tanggul ini.
[13]
Tanggul Kali Laya,
Pekayon,
Jakarta Timur, menyusul pada tanggal 24 Desember 2012, sehingga air
merendam pemukiman sekitarnya. Dinding sungai yang mengalami kerusakan
memiliki tinggi dua meter.
[14]
Pada Tanggal 15 Januari 2013, menyusul tanggul di Kedoya Selatan,
Kebun Jeruk, jebol dan menyebabkan banjir setinggi dua meter. Tanggul
ini juga tercatat memiliki konstruksi buruk karena hanya dibuat dari
karung pasir, sehingga tidak kuat menahan air Kali Pesanggrahan. Warga
diungsikan ke bagian timur rel Pesing, namun kebanyakan bertahan di
rumah masing-masing
[15]
Pada tanggal 17 Januari 2013, tanggul Kanal Banjir Barat, di daerah
Latuharhari juga jebol dan menyebabkan terendamnya kawasan perumahan
mewah di Menteng dan berbagai kawasan bisnis di pusat kota. Perbaikan
segera dilakukan namun terhambat arus lalu lintas.
[16]
Dampak
Menurut perkiraan Gubernur DKI Jakarta, banjir ini telah menyebabkan kerugian hingga Rp 20 Triliun
[17]. Sementara pengusaha, melalui Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia
Sofjan Wanandi,
mengklaim terjadinya kerugian ekonomi lebih dari Rp 1 Triliun. Selain
itu Rp 1 Miliar harus dikeluarkan untuk menyiapkan kebutuhan pengungsi.
[18]
Perusahaan Listrik Negara juga memiliki taksiran kerugian 116 Miliar
akibat terganggunya fungsi pembangkit dan peralatan distribusi dan
transmisi yang mengalami kerusakan akibat tergenang air.
[19]
Selain secara ekonomi, banjir juga menelan 20 korban jiwa dan 33.500 orang terpaksa mengungsi.
Korban
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
menyatakan jumlah resmi korban yang tercatat selama banjir Jakarta
2013, pada tanggal 18 Januari 2013, adalah 12 orang, dengan rincian 5
orang karena disetrum listrik, 2 orang karena kedinginan, 2 orang karena
terpeleset atau jatuh, 1 orang karena hanyut, 1 orang karena usia
lanjut, dan 1 orang sudah ditemukan meninggal di rumah.
[20]. Data ini diperbaharui kembali pada tanggal 22 Januari menjadi 20 korban jiwa, dan 33.502 orang terpaksa mengungsi.
[21]
Terendamnya Gedung UOB
Jebolnya tanggul
Johannes Latuharhary
menyebabkan air mengalir deras hingga ke Bundaran HI. Lantai bawah
tanah dari Gedung UOB yang memiliki ketinggian lantai dasar hampir sama
dengan jalan dalam sekejap terendam. Selama proses pengeringan,
ditemukan korban 2 orang meninggal, dan 2 lainnya dalam kondisi lemas
dan kaku karena terendam air dalam waktu yang lama.
[22] Selain itu ditemukan setidaknya 47 mobil terendam di lantai basement 1 dan 2.
[23]
Penanggulangan
Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah yang
terjadi selama banjir, antara lain dengan memperbaiki tanggul, pendirian
posko bantuan di titik-titik yang terkena banjir, relokasi pengungsi ke
rumah susun, hingga pengumuman status darurat banjir.
Relokasi pengungsi Waduk Pluit
Pada tanggal 18 Januari, menyusul jebolnya tanggul latuharhari,
daerah Pluit ikut terendam. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kemudian
menawarkan relokasi kepada penghuni rumah liar di sekitar Waduk Pluit
untuk pindah ke rumah susun yang diberikan fasilitas sangat lengkap,
dengan alasan mengurangi dampak banjir di masa depan dan memungkinkan
peralatan berat bekerja untuk mengeruk waduk.
[24]
Modifikasi cuaca
Setelah adanya permintaan dari DKI Jakarta
[25],
mulai tanggal 26 Januari hingga 25 Maret 2013, BPPT dan BNPB melakukan
upaya modifikasi cuaca, dengan cara mencegah pembentukan awan dan
menurunkan hujan di luar wilayah rawan banjir. Untuk kerjasama ini, BNPB
mengeluarkan biaya hingga Rp 13 Miliar. Proyek serupa pernah sukses
dijalankan di SEA Games Palembang dan PON 18 Riau.
Pengendalian cuaca dilakukan dengan mengerahkan 1 Hercules C-130 dan 3
peswat CASA 212-200 untuk mempercepat awan menjadi hujan. Sedangkan
untuk menghambat pertumbuhan awan dipasang 25 titik GBG (Ground Based
Generator) yang membakar flare berisi bahan higroskopis (NaCl). Proyek
ini juga didukung 3 radar hujan dan 6 stasiun pos meteorologi.
[26]
Keadaan darurat banjir
Pada tanggal 17 Januari 2013, Gubernur DKI Jakarta,
Joko Widodo,
mengumumkan status darurat banjir untuk Jakarta setelah jatuhnya 5
korban jiwa dan 15.447 warga terpaksa mengungsi. Pada saat itu, BNPB
mencatat banjir telah menggenangi 500 RT, 203 RW di 44 kelurahan yang
tersebar di 25 kecamatan.
[27]